T R I Y A D I
 
 Muhammadiyah dan Peranannya dalam Bidang Sosial Pendidikan dan Dakwah di Sulawesi Selatan

Pengenalan

Pendidikan yang di rintis dan dikelolah muhammadiyah sejak awal membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum wanita untuk tumbuh dan berkembang. Muhammadiyah menghimpun potensi-potensi yang dimiliki perempuan dalam wadah-wadah  yang terorganisasi. Organisasi otonom dalam Muhammadiyah iaitu Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Aisyiyah sebagai salah satu organisasi otonom wanita dalam Muhammadiyah juga menjadi salah satu perintis dan pelopor utama dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Yokyakarta pada tahun 1928 yang akhirnya melahirkan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)kemudia berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) pada tahun 1929, kemudian Kongres Perempuan hingga sekarang. 600 orang yang hadir dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Yokyakarta tersebut sebahagian besar adalah ahli Aisyiyah.1

Dalam konteks membangun inisiatif sipil, Muhammadiyah mampu menunjukkan komitmennya sejak awal melalui pendidikan. Gerakan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah ialah wujud komitm, Muhammadiyah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan mental kepada bangsa ini kepada bangsa ini untuk membangun kesadaran warga dan inisiatif masyarakat  sipil. Melalui pendidikan, Muhammadiyah berjayaa membangun kesadaran masyarakat untuk mengetahui hak-haknya sebagai warga dan bangsa, sehingga inisiatif-inisiatif sipil dapat di tumbuhkembangkan dari kesadaran itu. Berangkat dari pesan K.H. Ahmad Dahlan “dari kalian nanti akan ada yang jadi dokter, meester, insinyur, tetapi kembalilah kepada Muhammadiyah”, maka sebenarnya Muhammadiyah membangun dan mengembangkan kelas menengah di Nusantara .2

Pendidikan memiliki dimensi jangkah panjang , sehingga hasil-hasil pendidikan di lakukan Muhammadiyah tidak dapat di rasakan seketika itu juga tatkalah Muhammadiyah berdiri . Dalam jangkah panjang sejak kelahirannya, hasil-hasil dari pendidikan

1 Majlis PPK (1975), Qaidah Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Jakarta, ms:24 2Majlis DIKTI, 1993-1994, Laporan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Sulawesi Selatan, ms: 8

Muhammadiyah baharu di rasakan puluhan tahun kemudian, dimana  semakin banyak santri yang berpendidikan moden.

Konsep Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah diasakan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yokyakarta pada 8 Dzulhijjah 1303 H atau bertepatan dengan 18 November  1912. Muhammadiyah didirikan sebagai reaksi terhadap kondisi umat Islam Hindia Belanda terutama di Jawa ketika itu berada dalam keadaan lemah hingga tak mampu menghadapi tanntangan zaman (Ahmad Syafi’i Maarif, 1985). Khusus dalam bidang pendidikan dan pengajaran pondok pesantren yang lebih menitikberatkan pengembangan “ilmu pengetahuan Islam” yang  berorentasi kepada keakhiratan, sementara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda lebih menitikberatkan pada “ilmu pengetahuan umum” yang berorentasi kepada masalah keduniaan (sekuler)yang di persiapkan untuk membantu memantapkan kekuatan kolonialnya di Indonesia.3

Polarisasi yang diametral ini sebagai akibat sistem dan politik pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Hindiah Belanda yang lebih memantapkan politik “devide et impera”. Penyelenggaraan pengajaran dalam sistem persekolahan oleh pemerintah Hindiah Belanda mengambil sistem pendidikan pengajaran persekolahan Barat (Eropa) dengan menggunakan kelas dan bangku, sementara sistem pendidikan Pesantren tetap menggunakan sistem tradisional iaitu khalaqah.4

Keadaan pendidikan dan pengajaran yang berkutuk dengan segala aspek  dan prospeknya yang  tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia merupakan salah satu dorongan yang kuat bagi kelahiran Pergerakan Muhammadiyah pada tahun 1912 di Yokyakarta oleh K.H Ahmad Dahlan. Ada beberapa faktor  diasaskan Muhammadiyah iaitu: Umat Islam berada dalam keadaan jumud kerana sudah banyak menyimpang dari tuntunan agama berdasarakan al-Quran dan al-Sunnah. Keadaan umat Islam yang lemah dalam pelbagai aspek kehidupan sebagai akibat penjajahan.

Akibat sikap menutup diri dari perkembangan luar. Persatuan dan kesatuan umat Islam melemah sebagai akibat dari kondisi organisasi Islam yang  ada. Munculnya tantangan dari kegiatan misi zending dinilai dapat mengancam masa depan kehidupan agama Islam. Selain dari adanya faktor sebagai kenyataan yang diamati K.H. Ahmad Dahlan, beberapa

3 Steenbrink (Editor), (1985), Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan dalam kurun Modern, Jakarta, LP3ES, ms: 50 4 Rosyadi (Editor), (1982), Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Solo, Mutiara, ms:

kalangan menilai pemikiran Muhammad Abduh mempunyai peran besar dalam mendorongnya untuk mengadakan pembaharuan. K.H. Ahmad Dahlan memprioritaskan bidang pendidikan sebagai aktivitas pembaharuannya (Amurah, 1990, ms : 15)

Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh di dunia Islam ketika itu cukup luas. Gagasan dan pemikirannya tentang pembaharuan dalam Islam tersiar melalui majalah al-manar. Majalah itu menjadi bacaan para tokoh pembaharu termasuk di Indonesia( Harun Nasution, 1979, ms: 21). Pemikiran Muhammad Abduh diserap oleh tokoh-tokoh Islam pembaharu di Indonesia ,seperti K.H. Ahmad Dahlan. Walau bagaimanapun, kondisi masyarakat dan umat Islam di tanah air tak mungkin dapat di lepaskan dari hubungannya sebagai faktor penyebab mendorongnya diasasnya Muhammadiyah.5

Tujuan Pendidikan Muhammadiyah

Pada awal pergerakannya, tujuan yang diprogramkannya Muhammadiyah iaitu : Menyebarkan pengajaran agama Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera residensi Yokyakarta dan memajukan agama kepada ahli-ahlinya (Amir Hamzah Wirjo Soekarno, ms: 30). Tujuan itu terungkap dalam usaha untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam yang sebenar-benarnya. Dan pada prinsipnya, sebagaimana di kemukakan Deliar Noer bahawa bagi Muhammadiyah, masalah pokok adalah pembinaan umat “yang diridhai Allah”.6

Tujuan yang dirumuskan dinilai dengan kondisi dan kebutuhan umat Islam pada masa itu, terutama di Yokyakarta dan sekitarnya. K.H. Ahmad Dahlan melalui pengamatannya iaitu mengembalikan umat Islam kepada ajaran agamanya yang murni. Usaha dan pemurnian akan lebih efektif di lakukan dengan mengadakan pembaharuan di bidang pendidikan. 

Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah

K.H. Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang yang memiliki jiwa pergerakan dan pernah ikut menjadi guru di sekolah Budi Utomo dalam rangka membina moral keagamaan ahli perkumpulan itu. Aktivitas yang dilakukan K.H.Ahmad Dahlan memberi kesan bahawa cita-citanya untuk membina pendidikan Islam sudah diawali jauh sebelum Muhammadiyah berdiri sebagai sebuah organisasi  secara resmi pada tahun 1912.7

5 Rosyali(Editor), (1975), Perkembangan Filsafah Pendidikan dalam Muhammadiyah, Semarang, Majlis PPK Jawa Tengah, ms: 7 6 Deliar Noer (1985), Gerakan Modern di Indonesia 1900-1842, Jakarta, LP3ES, ms: 19 7 A.Malik Fajar (1999), Reorintasi Pendidikan Islam, Jakarta, Fajar Dunia, ms: 24

Sejalan dengan tujuan untuk membina umat, kegiatan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam antara lain: mendirikan sekolah, memerdenisasi pesantren, menggiatkan tabligh, serta kegiatan sosial lainnya termasuk yang bersifat insidental, seperti membantu korban bencana alam dan sebagainya. Tetapi tampak jelas, kegiatan pendidikan dan pengajaran lebih diutamakan.8

Setelah 8 tahun diasaskannya (1920), Muhammadiyah telah tersebar di Jawa, dan pada taun (1921) telah meliputi wilayah seluruh Indonesia, tanpa melupakan dan mengasaskan sekolah-sekolah di masing-masing cawangnya. Muhammadiyah mengasaskan dua macam lembaga pendidikan, iaitu madrasah diniyat yang khusus memberikan pelajaran agama dan sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran umum. Madrasah diniyat Muhammadiyah berbeza dengan  madrasah lain yang ada ketika itu, masih menerapkan metode pengajaran sistem khalaqah (belum menggunakan bangku dan meja belajar). Model madrasah Diniyat tersebut sudah mengambil sistem pendidikan Barat (Belanda) kini menggunakan sistem pengajaran klasikal. Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah umum model sekolah kerajaan Hindia Belanda, seperti HIS dan Kweek School (sekolah Guru) yang tetap memberikan pelajaran agama Islam sebagai salah satu materi kurikulumnya. Menurut Mahmud Yunus, Muhammadiyah sangat mementingkan pendidikan agama, dan pengajaran agama Islam di berikan sekolah, madrasah mahupun masyarakat. Pelaksanaan itu tampaknya sejalan dengan cita-cita K.H. Ahmad Dahlan9 yang telah merintis Muhammadiyah.10

Kurikulum Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah telah menyusun kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah yang mendekati rencana pelajaran sekolah-sekolah kerajaan. Di pusat-pusat pendidikan Muhammadiyah, disiplin-disiplin sekuler (ilmu umum) diajarkan meskipun Muhammadiyah memberi dasar sekolah-sekolahnya pada masalah-masalah agama.11

Dalam penyusunan kurikulum, terlihat adanya pemisahan kedua macam disiplin ilmu, sehingga antara keduanya terinci dalam pembagian. Misalnya : Kurikulum Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah terdiri atas 26 mata pelajaran (M.Said, 1959, ms: 11). Mata

8 Sayyid Ahmad Hasin, Bek (1984), Muktar al-hadits al-Nabawiy wa al-hikmah al-Mahmudiyah, al-Maktabah Dar al-ihwal’ al-Anbiyah, ms : 12

10 R.H. Haajid (1951),Falsafah Pelajaran K.H. Ahmad Dahlan dan PP Muhammadiyah, Yokyakarta, Majlis Tablik Bahagian Siaran, ms:611 Musthafa (Editor), (1991),Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, Yokyakarta, Citra Karsa Mandiri, ms: 30

pelajaran tersebut di pisahkan menjadi mata pelajaran umum sebanyak 21 mata pelajaran dan mata pelajaran agama sebanyak 5 mata pelajaran. Jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan sekolah Muhammadiyah iaitu agar mampu menciptkan pribadi muslim yang sempurna, semacam kombinasi antara seorang alim dan seorang intelektual, terkesan tidak akan timbul kesulitan untuk dapat direalisasikan secara utuh. 

Menilik konsepsi mata pelajaranyang ada dalam kurikulum pendidikan, kesulitan yang diduga dapat mengganggu pencapaian tujuan pendidikan yang telah diprogramkan dapat dilihat dari dua aspek.  Mata pelajaran umum seperti yang lebih besar 80%dan mata pelajaran agama 20%. Perbandingan antara mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama adalah 4:1, dan bukan 1:1.12

Komposisi ini dapat menimbulkan kesan bahawa pada dasarnya pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah cenderung mengarah kepada pendidikan umum. Dan yang membezakan antara sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan sekolah kerajaan hanya terletak pada adanya mata pelajaran agama. Kedua, dalam pelaksanaan pendidikannya Muhammadiyahmerupakan sistem pendidikan yang memadukan antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan sekolah, menjadi sistem pendidikan madrasah atau sekolah agama. Sistem seperti ini tidak jauh berbeza dengan yang dilakukan oleh jami’ah al-Khair sebelumnya. Tetapi dalam perkembangan lebih lanjut, Muhammadiyah lebih memperbanyak model sekolah agama dibanding model madrasah.13

Dari segi keberhasilan tersebut, ada benarnya sifat kooperatif yang dipilih Muhammadiyah, atau menimal akan timbul suatu pandangan baharu bahawa tindakan yang dimaksud lebih mengarah kepada kepentingan strategis suatu perjuangan, bukan semata-mata sebagai wujud dari sikap kompromistis terhadap kolonial Belanda. Sikap kooperatif tersebut dipilih oleh K.H. Ahmad Dahlan di dasarkan latar belakang sejarah organisasi dan perkumpulan Islam, al-Irsyad dan lain-lainnya memilih sikap non kooperatif, ternyata susah untuk mengembangkan diri. Dan alasan inilah Muhammadiyah mengarahkan pembaharuan di bidang institusi pendidikan, terutama mendidrikan sekolah agama yang lebih sesuai keperluan pendidikan.14

12 Zakiah Darajat (editor), (1991), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, ms:26 13Damami, Muhammad (1984), “Keilmuan Pesantren: antara Misteri dan Metodology” dalam Pesantren, Yokyakarta,edisi Perdana,ms: 20 1414 Damami, Muhammad (2000), Akar Gerakan Muhammadiyah, Yokyakarta,Fajar Pustaka, ms: 10




Leave a Reply.